- Back to Home »
- Kabinet Wilopo
Posted by : Unknown
Selasa, 20 Januari 2015
Biografi
dan Sekilas Tentang Wilopo
Nama : Wilopo
Gender :
Laki-laki
Tempat Lahir : Purworejo, Jawa
Tengah
Tanggal Lahir : 1908
Riwayat Karir :
·
Menteri muda perburuhan kabinet Amir
Syarifudin 1 dan kabinet Amir Syarifudin II (1947-1948)
·
Menteri Perburuhan Kabinet Republik
Indonesia Serikat (1949-1950)
·
Menteri Perdagangan dan Perindustrian
kabinet Sukirman-Suwiryo (1951-1952)
·
Menteri Luar Negeri Kabinet Wilopo
(1952)
·
Perdana Menteri Kabinet Wilopo (1952-1953)
·
Ketua Konstituante (1955-1959)
·
Ketua Dewan Pertimbangan Agung Indonesia
(1968-1978)
·
Anggota Komite Empat Tim Pemberantasan
Korupsi (1970)
Jabatan dalam kabinet :
·
Menteri Muda Perburuhan dalam kabinet
Amir Syarifudin I masa kerja 3 Juli 1947-11 November 1947
·
Menteri Muda Perburuhan dalam kabinet
Amir Syarifudin II masa kerja 11 November 1947-29 Januari 1948
·
Menteri Perburuhan dalam kabinet RIS
masa kerja 20 Desember 1949-6 Septembern1950
·
Menteri Luar Negeri dalam kabinet Wilopo
masa kerja 3 April 1952-29 April 1952
Sebelum menjadi Perdana Menteri, Wilopo juga pernah
menggantikan Ahmad Soebardjo menjadi menteri Luar Negeri pada tahun 1952.
Wilopo merupakan seorang politikus yang berasal dari partai PNI. Menjadi
Perdana Menteri didalam Kabinet ke-3 menggantikan posisi Sukiman Wiryosanjoyo
yang dianggap gagal dalam pemerintahan dikarenakan akibat ditandatanganinya
persetujuan bantuan ekonomi dan persenjataan dari Amerika Serikat kepada
Indonesia atas dasar Mutual Security Act ( MSA ). Peretujuan ini menimbulkan
tafsiran bahwa Indonesia telah menyalahi atauran politik bebas-aktif dan
cenderung memasuki Blok Barat. Muncul pertentangan dari partai lainnya yaitu
Masyumi dan PNI atas tindakan Sukiman sehingga mereka menarik dukungannya pada
kabinet tersebut. DPR akhirnya menggugat Sukiman dan terpaksa Sukiman harus
mengembalikan mandatnya kepada presiden. Didalam Kabinet Sukiman ini, hasil
kerja yang didapat juga merupakan hasil kerja lanjutan Kabinet sebelumnya yaitu
kabinet Natsir.
Sedikit menyinggung tentang kabinet Sukiman sebelum
kita lebih lanjut membahas mengenai Kabinet Wilopo yang merupakan inti dari
makalah ini. Dilihat dari rancangan kerja pada Kabinet Sukiman, kabinet ini
memiliki beberapa program kerja dari beberapa sektor yaitu ekonomi kemakmuran
rakyat yaitu dengan memperbarui Hukum Agraria sesuai dengan kepentingan dan
kebutuhan para petani. Di bidang sosial meliputi persiapan undang-undang
tentang pengakuan serikat buruh, perjanjian kerja sama, penetapan upah minimum
dan penyelesaian pertikaian perburuhan. Sedangkan dibidang pertahanan keamanan
menjalankan Negara yang tegas hukum, melindungi keamanan dan ketentraman warga
masyarakat. Dan juga mengenai Pemilu, untuk membentuk konstituante dan dalam
tempo yang singkat. Menjalankan politik luar negri yang bebas dan aktif yang
menuju perdamaian. Menyelenggarakan hubungan Indonesia dan Belanda atas dasar
Unie-Statuut, mempercepat peninjauan kembali hasil-hasil dari KMB. Sedangkan
masalah sengketa Irian Barat juga tidak ketinggalan dimasukkan kedalam program
kerja pada kabinet ini, ini merupakan suatu program kerja yang sulit
diselesaikan, terbukti kabinet pertama yaitu kabinet Natsir tidak mampu
menyelesaikan, dan di kabinet Sukiman sendiri terpaksa angkat tangan untuk
kasus ini. Tidak hanya itu, karena sengketa Irian Barat pula lah, Sukiman harus
menyerahkan mandatnya kepada Presiden Sukarno. Di masa Kabinet Sukiman,
perselisihan antara Presiden Soekarno dengan pemerintahan tetap terjadi.
Perselisihan itu terjadi karena ketidaksetujuan
Soekarno terhadap persetujan damai dengan Amerika
Serikat, begitupun Sukiman yang tetap mencoba membereskan anggota-anggota PKI.
Soekarno sendiri sering dianggap “berkoalisi” dengan PKI karena kesamaan
ideology antara Soekarno dan PKI yaitu yang sangat membenci neokolin,
imperalisme dan lain sebagainya. Kabinet ini berakhir jatuh pada tanggal 3
April 1952, setelah kurang lebih 1 tahun bertahan didalam demokrasi liberal.
Ketika Wilopo yang notabene merupakan seorang anggota
parlemen dari PNI menjadi perdana menteri (3 April 1952- 3 Juni 1953).
Merupakan koalisi antara PNI dan Partai Masyumi. Akan tetapi, kedua partai itu
pada awalnya kurang respect antar sesama partai untuk bekerjasama. Yang
akhirnya menimbulkan penyusunan kembali kekuatan-kekuatan politik secara
besar-besaran. PNI makin mencurigai motivasi-motivasi keagamaan dari beberapa
pimpinan Masyumi dan mencari sekutu untuk membantunya menunda pemilihan umum,
karena merasa takut bahwa Masyumi mungkin akan meraih kemenangan yang sangat
besar.
Proses
Terbentuknya Kabinet Wilopo
Kemudian, pada tanggal 1 Maret 1952, Soekarno menunjuk
Sidik Joyosukarto dari Partai PNI dan Prawoto Mangkusasmito dari Partai Masyumi
menjadi formatur[1].
Presiden Sukarno meminta kepada para formatur untuk menyusun kabinet yang kuat
dan mendapatkan dukungan cukup dari parlemen. Usaha ini mengalami kegagalan,
karena tidak ditemukannya kesepakatan tentang siapa saja calon yang akan
didudukan didalam kabinet yang baru menggantikan Kabinet Sukiman yang dianggap
telah gagal dalam menjalankan amanatnya.
Terjadi
banyak permasalahan dalam kabinet ini, mulai dari adanya krisis moral yang
ditandai dengan munculnya korupsi yang terjadi pada setiap lembaga pemerintahan
dan sikap hedonisme. Kemudian masalah Irian barat belum juga teratasi dari saat
pemerintahan kabinet Natsir. Ditambah lagi dengan hubungan Sukiman dengan
militer kurang baik tampak dengan kurang tegasnya tindakan pemerintah
menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan.
Kejatuhan Kabinet Sukiman merupakan akibat
dari ditandatanganinya persetujuan bantuan ekonomi dan persenjataan dari
Amerika Serikat kepada Indonesia atas dasar Mutual Security Act ( MSA ).
Peretujuan ini menimbulkan tafsiran bahwa Indonesia telah memasuki Blok Barat,
yang berarti bertentangan dengan prinsip dasar politik luar negri Indonesia
yang bebas aktif. Muncul pertentangan dari Masyumi dan PNI atas tindakan
Sukiman sehingga mereka menarik dukungannya pada kabinet tersebut. DPR akhirnya
menggugat Sukiman dan terpaksa Sukiman harus mengembalikan mandatnya kepada
presiden.
Tanggal 19 Maret,
kedua formatur ini mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno. Presiden
pun akhirnya menunjuk Mr. Wilopo (PNI) sebagai seorang formatur yang baru. Pada
tanggal 30 Maret Mr. Wilopo mengajukan susunan kabinetnya yang terdiri dari :
PNI dan Masyumi masing-masing mendapat jatah 4 orang, PSI 2 orang, PKRI (Partai
Katholik Republik Indonesia), Parkindo (Partai Kristen Indonesia), Parindra
(Partai Indonesia Raya). Partai Buruh dan PSII masing-masing 1orang dan
golongan orang tak berpartai 3 orang. Dalam menentukan tim di kabinetnya,
Wilopo mengusahakan adanya suatu tim yang dianggapnya sebagai Zaken Kabinet. Zaken Kabinet adalah
kabinet yang ahli didalam bidangnya yang bukan merupakan wakil tunjukan
representative dari partai politiknya sehingga dapat secara bulat mendukung
kebijaksanaan pemerintah. Dalam
konstelasi politik saat itu kehadiran partai-partai kecil tetap diperhitungkan
agar dapat mencapai mayoritas dalam parlemen.
Sikap dan posisi partai-partai menjadi lebih jelas
lagi selama berlangsungnya perdebatan dalam DPR mengenai Keterangan Pemerintah
Program Kabinet. Pada sidang itu pemerintah tidak meminta kepercayaan,
melainkan hanya memberitahu kepada DPR bahwa pemerintah akan melanjutkan
pekerjaannya kecuali apabila DPR menghendaki lain. Suara yang setuju memberikan
dukungan bekerja kepada kabinet ada 125 suara melawan 5 suara yang tidak
setuju, terdiri dari Partai Murba dan SKI (Sarekat Kerakyatan Indonesia)
mengatakan tidak setuju, sedang Fraksi Progresif, PRN,PIR, Fraksi Demokrat dan
beberapa anggota tak berpartai disamping satu dua orang dari Masyumi abstein.
Berdasarkan surat Keputusan Presiden No. 99 Tahun 1952, tanggal 3 April 1952
terbentuk kabinet dengan Perdana Menteri Wilopo dan Wakil Perdana Menteri
dijabat oleh Mr. Prawoto Mangkusasmito dari Partai Masyumi [2].
Keanggotaan Kabinet Wilopo
Di dalam Kabinet Wilopo ini, semua anggotanya
merupakan orang-orang yang ahli didalam bidangnya masing-masing (zaken
kabinet).Disini, Wilopo berperan ganda yaitu sebagai Perdana Menteri dan juga
Menteri Luar Negri. Sebelum menjadi seorang Perdana Menteri, mulanya Wilopo
mengawali karir di dalam wilayah perpolitikan adalah pada masa Kabinet Amir
Syarifudin 1 dan kabinet Amir Syarifudin II pada tahun 1947-1948 beliau
menjabat sebagai Menteri Muda Perburuhan. Dan dilanjutkan menjabat sebagai
Menteri Perburuhan Kabinet Republik Indonesia Serikat pada tahun jabatan
1949-1950. Sedangkan didalam Kabinet Sukirman tahun 1951-1952 Wilopo menjabat
sebagai Menteri Perdagangan dan Perindustrian.
Sedangkan Wilopo menunjuk Prawoto Mangkusasmito dari
Partai Masyumi sebagai wakil dalam Kabinetnya. Prawoto juga bukanlah tipe orang
yang mementingkan dirinya sendiri. Prawoto langsung
terjun ke dunia politik ketika masih disekolah Menengah, AMS, di Yogyakarta. Ia
memasuki Jong Java sampai
menjadi Indonesia Muda. Ia aktif di JIB (Jong Islamiten Bond). Dalam Partai Islam
Indonesia (PII) yang diketuai oleh Dr. Sukiman Wirjosandjojo ia duduk dalam
Pengurus Besarnya. Ketika partai politik Masyumi dibentuk tahun 1945 ia duduk
dalam Pimpinan Pusat, kemudian menjadi Sekretaris Umum dan terakhir tahun1959
sebagai Ketua Umum sebelum Masyumi dibubarkan oleh Sukarno. Dalam politik
pemerintahan, dia menjadi anggota KNIP (1946-1949), dan di zaman RIS
(1949-1950) menjadi ketuanya.
Sebagai Menteri
Luar Negeri peranan Wilopo digantikan oleh Mukarto pada 29 April 1952. Untuk
Menteri Dalam Negrinya sendiri, Wilopo mempercayakan kepada Mohamad Roem untuk
menangani. Sebelumnya, Roem juga pernah menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri
pada masa Kabinet Syahrir (2 Oktober 1946-27 Juni 1947), kemudian beliau juga
sukses mewakili atau sebagai dilegasi Indonesia dalam perundingan Roem-Royen
tahun 1949. Di dalam Kabinet Natsir, beliau menjabat sebagai Menteri Luar Negri
(6September 1950-20 Maret 1951).
Menteri Pertahanan diampu oleh Sri Sultan
Hamengkubuwono IX, kerja sama yang erat dengan kelompok-kelompok professional
dalam pimpinan pusat tentara pulih lagi. Namun, beliau
mengundurkan diri pada tanggal 2 Juni 1953 dan untuk
mengisi kekosongannya ini, maka dijabat oleh Wilopo.Padahal, di Kabinet yang
terdahulu atau Kabinet Natsir, beliau menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri.
Lukman Wiradinata ditunjuk Wilopo sebagai Menteri Kehakiman. Lukman Wiradinata
juga berjasa atas, Bursa Efek di Jakarta yang diaktifkan kembali dengan UU
Darurat Pasar Modal 1952, dan Menteri keuangan (Prof.DR. Sumitro
Djojohadikusumo). Instrumen yang diperdagangkan: Obligasi Pemerintah RI (1950)
Sedangkan Arnold Mononutu dipercaya sebagai Menteri Penerangan. Beliau juga
pernah menjabat sebagai sebagai Ketua Parlemen Negara Indonesia Timur. Mononutu
begitu beliau lebih dikenal, merupakan anak Minahasa yang memiliki pendirian
kuat untuk tetap teguh pada nasionalisme Indonesia, beliau merupakan anggota
dari Perhimpunan Indonesia, kemudian beliau juga tergabung dalam PNI. Tidak
hanya itu, beliau juga mewakili sidang Konstituante untuk mempertahankan
Pancasila khusunya sila pertama. Namun, tak banyak orang yang mengenal
Mononutu. Di Sulawesi Utara,nama beliau digunakan sebgai salah satu nama jalan.
Beralih ke Menteri Keuangan, pada masa Kabinet Wilopo ini yang bertugas
sebagai Menteri adalah Sumitro Joyohadikusumo, merupakan ahli ekonomi di
Indonesia. Beliau ini anak dari pendiri BNI 1946 yaitu Margono Joyohadikusumo
makanya tidak salah apabila Wilopo menempatkan beliau menjadi Menteri Keuangan.
Di Indonesia, siapa yang tidak mengenal Prabowo Subianto? Sumitro
Joyohadikusumo merupakan ayah dari Calon Presiden RI tahun 2014 ini, tak salah
jika buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Ayahnya salah satu kontibutor politik
di Indonesia dan anaknya pun mengikuti jejak sang ayah untuk berpartisipasi
dalam kancah perpolitikan di Indonesia.
Mohammad Sardjan, Mentri Pertanian. Merupakan salah
satu anggota dari Partai Masyumi daerah
Jawa Timur. Untuk Menteri Perdagangan sendiri ditangani oleh Sumanang. Mentri
Perhubungan diamanatkan untuk Djuanda, hal ini cocok disematkan untuk Djuanda
karena Djuanda memimpin para pemuda mengambil-alih Jawatan Kereta Api dari
Jepang. Disusul pengambil-alihan Jawatan Pertambangan, Kotapraja, Keresidenan
dan obyek-obyek militer di Gudang Utara Bandung. . Tidak hanya itu, Ir. Djuanda
oleh kalangan pers dijuluki ‘menteri marathon’ karena karirnya sejak awal
kemerdekaan (1946) sudah menjabat sebagai menteri muda perhubungan sampai
menjadi Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan (1957-1959) sampai menjadi
Menteri Pertama pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1963).
Mentri P.U dan Tenaga dipercayakan kepada Suwarto,
dalam Kabinet sebelumnya Kabinet Sukiman beliau menjabat sebagai Menteri
Pertanian. Mentri Perburuhan dikomandani oleh Iskandar Tedjasukmana, beliau
sudah sangat berpengalaman didalam bidang perburuhan. Pada masa Kabinet Natsir
beliau juga dipercaya untuk mengambil alih hingga cabinet selanjutnya pun
Iskandar Tedjakusuma tetap dipercaya untuk menjadi Mentri Perburuhan. Untuk
Mentri Sosial sendiri, Wilopo menunjuk Anwar Tjokroaminoto. Dalam Mentri
kabinet Amir Syarifudin II pun beliau berkontribusi menjadi Menteri Negara.
Sayangnya, pada tanggal 9 Mei 1953 putra dari HOS Tjokroaminoto ini digantikan
posisinya oleh Panji Suroso karena Anwar Tjokroaminoto lebih memilih untuk
mengundurkan diri.
Bahder Johan adalah nama salah satu mentri yang ada
didalam Kabinet Wilopo, beliau menjabat sebagai Mentri Pendidikan dan
Kebudayaan. Pemuda asal Padang, Sumatera Barat ini memang layak menjadi
menteri, ditilik dari masa mudanya yang aktif terlibat dalam Kongres Pemuda dan
juga salah satu pimpinan Jong Sumatranan Bond, pidatonya yang menyangkut
tentang kedudukan wanita dilarang keras oleh pihak Hindia Belanda. Beliau ini
juga mendapat kedudukan yang sama sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
pada masa Kabinet Natsir. Sedangkan Menteri Agama diamantkan kepada Fakih
Usman, Fakih Usman sendiri merupakan seorang aktivis Islam di Indonesia dan
politikus dari Partai Masyumi, jabatan sebagai Menteri Keagamaan pernah ia
jalani pada masa Kabinet Halim semasa Republik Indonesia Serikat. Fakih menjadi
bendahara. Selama pendudukan Jepang dan Revolusi Nasional Indonesia, Fakih
terus mendalami bidang tersebut. Sekaligus menjalani dua periode sebagai
Menteri Agama Republik Indonesia, Fakih menjadi lebih berpengaruh di
Muhammadiyah.
Ia berjasa sebagai wakil ketua di bawah beberapa
pemimpin sebelum dijadikan Ketua Umum Muhammadiyah pada akhir tahun 1968.
Selama menjabat didalam kabinet Wilopo, Fakih mulai program dengan reformasi
dalam Kementerian Agama, meresmikan tujuan kementerian: untuk menyediakan guru
agama, menjelaskan hubungan menghargai antar-agama yang baik, dan menentukan
tanggal hari raya. Ia juga berusaha untuk meninjau ulang struktur kementerian.
Kementerian juga melanjutkan peningkatan mutu pendidikan agama agar generasi
muda pada saat itu tidak hanya tumbuh akan nasionalisme saja namun diimbangi
dengan pendidikan agama yang baik dan memberangkatkan ribuan jemaah haji yang
berangkat dari Indonesia ke Mekkah setiap tahun.
J. Leimena, dipercaya menjabat sebagai Menteri
Kesehatan pada masa Kabinet Wilopo ini. Dr. Johannes Leimena atau yang sering
disebut dengan Leimena , merupakan seorang tokoh nasional yang berasal dari
Indonesia bagian timur yaitu Ambon. Leimena adalah lulusan dari kedokteran
STOVIA Surabaya. Beliau juga merupakan seorang pendiri Gerakan Mahasiswa
Kristen Indonesia atau GMKI tahun 1950 . Tidak hany itu, Leimena juga aktif dalam
bidang politik yaitu Partai Kristen Indonesia (Parkindo) yang terbentuk di
tahun 1945 dan pada tahun 1950, ia terpilih sebagai ketua umum dan memegang
jabatan ini hingga tahun 1957. Selain di Parkindo, Leimena juga berperan dalam
pembentukan DGI (Dewan Gereja-gereja di Indonesia, kini PGI), juga pada tahun
1950. Di lembaga ini Leimena terpilih sebagai wakil ketua yang membidangi
komisi gereja dan negara. Beliau ini, merupakan satu-satunya menteri di
Indonesia yang mampu menjabat selam 21 tahun berturut-turut tanpa putus.
Didalam kabinet-kabinet sebelumnya, Leimena juga diangkat sebagai Menteri
Kesehatan, kemudian kabient-kabinet setelahnya juga mempercayakan Leimena
sebagai Menteri Kesehatan yaitu pada masa Kabinet Burhanudin Harahap dan
Menteri Sosial pada masa Kabinet Juanda.
Untuk Menteri Negara (Menteri Urusan Pegawai) sendiri,
Wilopo mempercayakan Panji Suroso. Panji Suroso juga pernah menjabat sebagai
gubernur di Jawa Tengah yang pertama yaitu pada tahun 1945. Sedangkan per
tanggal 11 Mei 1953 Menteri Urusan Pegawai ditiadakan dan Pandji Suroso
menggantikan Anwar Tjokroaminoto yang mengundurkan diri pada tanggal 9 Mei 1953
sebagai Menteri Sosial. Pada masa Kabinet Natsir, beliau pernah menjabat
sebagai Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Program
Kerja Kabinet Wilopo
Didalam
sebuah pemerintahan pastilah dibutuhkan program-program kerja yang telah
dicanangkan dan akan dilakukan. Program-program kerja ini diharapkan mampu
untuk menjadikan Indonesia kearah yang lebih baik daripada kabinet-kabinet
sebelumnya. Berikut merupakan susunan rencana program kerja yang dicanangkan
oleh Wilopo selama kabinetnya berlangsung :
·
Organisasi Negara
·
Kemakmuran
·
Keamanan
·
Perburuhan
·
Pendidikan dan pengajaran
·
Luar negeri.
Sebenarnya program-program kabinet Wilopo ini tidak
berbeda jauh dengan program yang dicanangkan oleh kabinet Natsir dan Sukiman.
1. Organisasi
Negara
Melaksanakan
pemilu untuk konstituante dan dewan-dewan daerah,
·
Namun,
pemilu konstituante yang demokratis baru ada pada pemilahan umum tahun 1955.
Pelaksanaan pemilu dalam kabinet Wilopo ini sama seperti kabinet sebelumnya,
tetap mengalami kegagalan. Kegagalan ini adalah akibat dari tidak matangnya
kegiatan perencanaan sebelum pelaksanaan pemilu untuk konstituante.
·
Menyelesaikan penyelenggaraan dan
mengisi otonomi daerah. Dalam menyelenggarakan dan mengisi otonomi daerah ini
Kabinet Wilopo bertujuan agar kondisi pemerintahan yang cukup kacau di
daerah-daerah dapat membaik. Serta meningkatkan tingkat kestabilan daerah
akibat perekonomian yang kian menurun.
·
Menyederhanakan organisasi pemerintah
pusat. Hal ini bertujuan agar pengaturan organisasi oleh kabinet mudah
dilakukan. Karena jika organisasi terlalu banyak kontrol akan sulit dilakukan.
·
Kabinet juga merencanakan untuk
memperkecil jumlah birokrasi dan militer. Namun,disini timbul pertentangan dari
PNI yang merasa tidak senang terhadap setiap usaha untuk mengurangi birokrasi,
sedangkan pengurangan-pengurangan yang direncanakan di kalangan militer
menimbulkan suatu konflik yang gawat dalam tubuh tentara.
2. Kemakmuran
- Memajukan tingkat penghidupan rakyat dengan mempertinggi produksi nasional, terutama bahan makanan rakyat. Tujuan ini berkaitan dengan upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat dibidang ekonomi. Paling tidak rakyat dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya, yaitu kebutuhan bahan makanan pokok. Melalui usaha peningkatan kemakmuran, rakyat diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup agar lebih layak yang tentunya akan membantu meningkatkan upaya pembangunan negara.
- Melanjutkan usaha perubahan agraria. Masyarakat Indonesia kala itu mayoritas merupakan penduduk yang bermata pencahariannya sebagai petani. Dengan melakukan perubahan di bidang agraria diharapkan rakyat mampu memnuhi kebutuhan hidupnya bahkan dapat menjual hasil pertaniannya sebagai barang ekspor. Hal ini dibuktikan dengan beberapa munculnya Undang-Undang ,mengenai ke agrarian antara lain: Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1952 Tentang Pemindahan dan Pemakaian Tanah-Tanah dan Barang-Barang Tetap Yang Lainnya Yang Mempunyai Titel Menurut Hukum Eropa.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1952 Tentang Penetapan Undang-Undang Nr 6 Tahun 1951 Untuk Mengubah "Grondhuur Ordonantie" (Stbl 1918 Nr 88) dan "Vorstenlandsch Grondhuurreglement" (Stbl. 1918 Nr 20) Sebagai Undang-Undang.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1953 Tentang Pernyataan Perlunya Beberapa Tanah Partikelir Dikembalikan Menjadi Tanah Negeri.
·
Program ekonomi benteng juga
diteruskan pada masa kabinet Soekiman
(1951-1952) dan kabinet Wilopo (1952-1953) sekitar 700 pengusaha pribumi
mendapat bantuan Kredit akan tetapi tidak satupun pengusaha pribumi yang
berhasil tumbuhmenjadi pengusaha mandiri.
- Berusaha mengembalikan kedaulatan Irian Barat kedalam pangkuan Republik Indonesia. Usaha ini sudah dilakukan dari terbentuknya kebinet pertama, namun selalu mengalami kegagalan, begitu juga dengan usaha dari Kabinet Wilopo ini. Hal ini juga dampak dari keagaglan-kegagalan perjanjian-perjanjian yang dilakukan antara Indonesia dengan Belanda. Indoneis baru berhasil merebut kembali Irian Barat pada tahun 1969.
3. Keamanan
- Menjalankan segala sesuatu untuk mengatasi masalah keamanan dengan kebijaksanaan sebagai Negara hukum dan menyempurnakan organisasi alat-alat kekuasaan Negara serta. Hukum menjadi alat utama untuk menstabilkan keamanan negara dari segala bentuk ancaman baik dari luar maupun dari dalam tubuh negara sendiri, seiring terjadinya berbagai pemberontakan dari daerah-daerah.
- Memperkembangkan tenaga masyarakat untuk menjamin keamanan dan ketentraman. Masyarakat merupakan komponen penting dalam membentuk sebuah keamanan. Masyarakat yang tentram dan sadar akan pentinganya kedamaian sangat diperlukan untuk membentuk sebuah keamanan yang stabil.
4. Perburuhan
- Memperlengkapi perundang-undangan perubahan untuk meninggikan derajat kaum buruh guna menjamin proses nasional. Profesi buruh sudah menjamur di Indonesia di berbagai daerah. Banyaknya penduduk yang berprofesi sebagai buruh ini menuntut adanya aturan formal yang jelas untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Perserikatan buruh juga banyak terbentuk. Fenomena ini tentunya dapat mengancam kestabilan sistem negara jika tuntutan buruh tidak terpenuhi.
5. Pendidikan
dan pengajaran
- Mempercepat usaha-usaha perbaikan untuk pembaharuan pendidikan dan pengajaran. Sejak zaman kolonial, kondisi pendidikan dan pengajaran di Indonesia terbilang sangat buruk. Apalagi sebelum kemerdekaan pendidikan hanya terbatas pada kaum laki-laki dan para priyayi. Hal ini tentu harus dibenahi, mulai dari sistemnya hingga pada tenaga-tenaga pendidik yang bersangkutan. Kebebasan untuk memperoleh pendidikan yang masih sangat kurang, harus segera di perbaiki, karena sumber daya manusia yang unggul akan mendukung juga bagi pembangunan nasional.
6. Luar
Negeri
- Mengisi politik luar negri yang bebas dengan aktivitas yang sesuai dengan kewajiban kita dalam kekeluargaan bangsa-bangsa dan dengan kepentingan nasional menuju perdamaian dunia. Cita-cita Indonesia dalam kancah internasional adalah terciptanya politik luar negeri yang bebas aktif. Bebas disini berarti tidak memihak pada salah satu blok manapun dalam menempuh cara sendiri dalam menangani masalah internasional. Kemudian aktif, Indonesia sesuai dengan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 aktif dalam tujuan melaksanakan perdamaian dunia dan berpartisipasi meredeka ketegangan internasional. Penyimpangan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif muncul pada waktu berlangsungnya Kabinet Sukiman, yang pada akhirnya menyebabkan kabinet Sukiman mengalami kegagalan. Dari Kabinet Natsir, Kabinet Sukiman, sampai Kabinet Wilopo menerangkan kepada parlemen tentang bebas dalam perhubungan luar negeri sebagai kenyataan brhadapan dengan kedua blok yaitu blok barat dan blok timur. Dasar politik bebas aktif dengan mengingat: (a) paham tentang niat dan tujuan yang ikhlas dalam keanggotaan PBB. (b) pandangannya tentang kepentingan negara lain yang menyangkut kepentingan masa pendek atau panjang.
2.5. Kegagalan Program
Kerja Kabinet Wilopo
Kegagagalan program
kerja dalam kabinet Wilopo disebabkan oleh beberpa faktor. Pertama, masa kerja kabinet Wilopo terbilang cukup singkat yakini
mulai 3 April 1952 hingga 3 Juni 1953, sehingga waktu yang yang ada untuk
merealisasikan semua program kerja yang cukup banyak seperti disebutkan diatas
tidak mencukupi. Sebuah program kerja tentunya tidak bisa langsung terlaksana,
melainkan harus melalui beberapa tahapan yang membutuhkan waktu yang cukup
lama, sedangkan masalah-masalah yang terjadi selama kabinet Wilopo berlangsung
mengakibatkan kabinet ini harus mengakhiri masa kerjanya dalam waktu kurang
lebih satu tahun. Kedua, ‘musuh’ yang
dihadapi bangsa Indonesia kala berlangsungnya kabinet ini cukup berat, baik
dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Dari dalam negeri, dari dalam
kabinet juga muncul pertentangan antara petinggi-petinggi partai politik,
ditambah lagi dengan munculnya pemberontakan dari daerah-daerah yang merasa
tidak mendapatkan haknya dari pemerintah pusat. Sedangkan dari luar negeri,
pertikaian dengan negeri Belanda atas masalah Irian Barat juga menyulitkan
Indonesia meraih kembali kedaulatan atas Irian Barat agar masuk wilayah
Indonesia. Sengketa ini berlangsung dalam jangka waktu yang lama, karena
kekuatan dari pihak Belanda yang sangat kuat, bahkan berbagai perjanjian yang
pernah diupayakan tidak mampu menyelesaikan kasus Irian Barat.
Ketiga, dalam tujuan mencapai kemakmuran rakyat, agaknya juga menemui hambatan karena kondisi perekonomian negara sendiri saat itu juga tengah mengalami penurunan, terjadi banyak kasus korupsi, serta terjadinya inflasi karena tingginya harga barang import dan rendahnya barang produksi untuk eksport, yang menyebabkan defisit kas negara.
Keempat, masalah ekonomi dan sosial yang dihadapi bangsa Indonesia setalh kependudukan Jepang dan Revolusi sangatlah besar. Perkebunan-perkebunan dan isntalasi industry diseluruh penjuru negeri rusak berat. Mungkin yang paling penting ialah bahwa jumlah penduduk meningkat tajam. Produksi pangan meningkat namun tidak mencukupi kebutuhan yang ada. Terjadinya berbagai kasus ledakan penduduk yang signifikan membuat keadaan semakin kacau. Di Jawa, produksi beras perkapita sedikit menurun dari Tahun 1950-1960.
Maka sejumlah besar import makanan masih diperlukan. Pertanian banyak menyerap tenaga kerja baru dengan membagi pekerjaan kepada sejumlah buruh yang jumlahnya semakin hari smeakin meningkat. Tetapi, dengan menurunnya jumlah lahan yang dimiliki banyak keluarga petani tidak lagi memiliki lahan yang cukup untuk menafkahi hidup mereka dan harus mencari pendapatan mereka dengan menjadi buruh upahan. Karena didearah desa tanah sudah menjadi sempit, maka terjadilah urbanisasi untuk mencari penghidupan yang lebih layak.
Keadaan ekonomi menjadi semakin memburuk dengan berakhirnya Perang Korea. Antara bulan Februari 1951 dan September 1952, harga karet, ekspor nasional yang terpenting turun 71%. Hal ini juga mengakibatkan pemasukan bagi uang pemerintah merosot tajam. Upaya untuk memperbaiki neraca perdagangan yang dianggap tidak menguntungkan serta keluarnya cadangan emas dan devisa maka pemerintah mengankan bea tambahan sebesar 100-200% terhadap impor barang-barang mewah dan mengurangi pengeluaran. Langkah tersebut memperbaiki dampak yang paling buruk dari krisis ekonomi, tetapi menimbulkan akibat-akibat yang paling buruk terhadap para pendukung utama PNI. Masyumi mendukung kebijakan itu, sehingga meningkatkan ketegangan anatra PNI dengan Masyumi.
Berakhirnya Kabinet Wilopo
Koalisi PNI dan Masyumi dalam kabinet Wilopo tidak pernah berjalan
denagn baik pada bulan-bulan di tahun 1953 hakikat koalisi yang ada pun tinggal
sedikit dari beberapa jumlah koalisi. Pada masa kabinet ini, NU menarik diri
dari Masyumi dan berubah menjadi partai politik. Perpecahan itu mengakibatkan
ketimpangan yang sangat signifikan, NU merasa lebih mudah untuk bekerjasama
dengan PNI dan PKI, daripada denagn Masyumi. PNI dan PKI pun juga merasa senang
karena dapat berhubungan dengan partai Islam kecuali Masyumi.
Pemerintah saat itu dihadapkan pada keadaan ekonomi
yang kritis, terutama karena jatuhnya harga barang-barang ekspor Indonesia
seperti, karet, timah dan kopra, sedang kecenderungan impor terus meningkat.
Karena penerimaan negara akan menurun dalam jumlah yang besar dan karena
banyaknya komitmen-komitmen lama yang harus dipenuhi maka adanya defisit tidak
dapat dihindarkan sekalipun diadakan penghematan-penghwmatan yang drastis.
Rencana kenaikan gaji para pegawai negeri sebesar 20% tetap dilaksanakan,
tetapi pembagian jatah beras pegawai terpaksa dihentikan, sedangkan hadiah
lebaran tidak diberikan .[3]
Kesulitan lain yang dihadapi ialah masalah panen yang menurun, sehingga perlu disediakan jumlah devisa yang lebih besar untuk mengimpor beras. Dalam usaha meningkatkan ekspor yang perlu untuk memperbaiki situasi neraca pembayaran, pemerintah mengambil langkah menurunkan pajak ekspor serta menghapus sistem sertifikat yang oleh kabinet sebelumnya diadakan untuk meningkatkan penerimaaan negara dengan mengorbankan barang-barang yang pada waktu itu kuat pasarannya. Dilain pihak dilakukan pembatasan impor dengan jalan menaikan pajak terhadap barang-barang non-essensial dan mewajibkan para membayar uang muka sebesar 40%.
Mengenai program kabinet Wilopo terutama ditujukan pada persiapan pelaksanaan Pemilihan umum (untuk konstituante, DPR, dan DPRD), kemakmuran, pendidikan rakyat, dan keamanan. Sedang program luar negeri terutama ditujukan pada penyelesaian masalah hubungan Indonesia-Belanda dan pengembalian Irian Barat ke Indonesia serta memajukan politik bebas-aktif menuju perdamaian dunia. Wilopo bersama dengan kabinetnya berusaha untuk melaksanakan program itu sebaik-baiknya. Akan tetapi, kesukaran-kesukaran yang harus diselesaikan ialah timbulnya provinsialisme dan bahkan kapitalisme. ejala tersebut dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Gejala provinsialisme akhirnya berkembang ke separatisme atau usaha memisahkan diri dari pusat. Gejala tersebut terwujud dalam berbagai macam pemberontakan, misalnya PRRI atau Permesta.
Dibeberapa tempat di Sumatera dan Sulawesi timbul rasa tidak puas terhadap pusat. Alasan yang terutama adalah kekecewaan karena tidak seimbangnya alokasi keuangan yang diberikan oleh Pusat kepada Daerah. Daerah merasa bahwa sumbangan yang mereka berikan kepada pusat dari hasil ekspor misalnya lebih besar dari yang mereka dikembalikan oleh Pusat kepada Daerah. Mereka juga menuntut diperluasnya hak otonomi daerah. Timbul pula perkumpulan-perkumpulan yang berlandaskan semangat kedaerahan seperti Paguyuban Daya Sunda di Bandung Pertama gerakan kedaerahan Sunda mulai menunjukkan eksistensinya. Gerakan ini sekalipun lebih banyak menampakan manifestasinya dalam budaya, namun sebetulnya punya latar belakang politik. Manifestasi gerakan kedaerahan ini antara lain adalah Gerakan Daya Sunda. Kedua, Jawa Barat adalah basis Masyumi yang mendominasi parlemen daerah Jawa Barat maupun di Kota Besar Bandung. Tetapi di sisi lain ada gerakan Darul Islam yang kadang merugikan citra politik Islam karena keganasannya kerap di luar batas. Meskipun di tingkat pusat NU keluar dari Masyumi karena persoalan Menteri Agama pada 1952, tetapi di tingkat lokal secara ideologis untuk Jawa Barat kedua partai ini sebetulnya tidak terlalu berseberangan.
Surat kabar mingguan yang dikelola orang Tionghoa di
Jakarta Star Weekly mencermati benar situasi di Jawa Barat, khususnya di
Bandung sejak 1953. Menurut sebuah artikel pada 2 Mei 1953 Masyumi disebutkan
berhasrat agar Pemilu menggunakan sistem
distrik yang menguntungkan partai ini
terutama di Jawa Barat. Sejak 1953 orang Tionghoa juga mengkhawatirkan apa yang
disebut proviancialistis terutama yang digagas Gerakan Daya Sunda menjadi cukup
kuat pada tahun 1952-1953. Munculnya gerakan ini dituding menimbulkan
ketegangan. dan Gerakan Pemuda Federal Republik Indonesia di Ujangpandang.
Keadaan ini tentu membahayakan kehidupan negara Kesatuan dan merupakan langkah
mundur dari Sumpah Pemuda 1928.
Selain soal kedaerahan dan kesukuan, pada tanggal 17
Oktober 1952 timbul soal Angkatan Darat yang terkenal dengan peristiwa 17
Oktober 1952 . Peristiwa ini ditandai dengan perdebatan sengit di DPR selama
berbulan-bulan mengenal masalah pro dan kontra kebijaksanaan Menteri Pertahanan
dan pimpinan Angkatan Darat. Aksi ini dilakukan dengan penangkapan 6 orang
anggota parlemen. Konflik itu berimbas ke parlemen. Parlemen membahas masalah
itu yang kemudian tercetusnya mosi Manai Sophian. Manai mengusulkan supaya
diadakan reorganisasi dan mutasi di lingkungan Angkatan Perang dan kementrian
pertahanan. Mosi itu diterima oleh parlemen. Parlemen terlalu ikut campur dalam
urusan internal tentara. Tentara menolak mosi dengan melakukan tekanan kepada
presiden untuk membubarkan parlemen. Tuntutan itu ditolak presiden[4] . Manai Sopian Partai awalnya ketika masa
pergerakan nasional adalah Parindra (Partai Indonesia Raya) dan ketika masa
Revolusi ia berganti partai menjadi PNI (Partai Nasional Indonesia) yang
berideologikan Marhaenisme Bung Karno . Ia pernah menduduki Sekretaris Jenderal
PNI .
Menteri Pertahanan, Sekretaris Jenderal Ali Budihardjo
dan sejumlah perwira yang merasa bertanggung jawab atas Peristiwa 17 Oktober
1952 di antaranya KSAP T.B. Simatupang dan KSAD A.H. Nasution mengundurkan diri
dari jabatannya. Kedudukan Nasution digantikan oleh Bambang Sugeng. Dengan
timbulnya, konflik antar kelompok didalam tubuh tentara maka kekuatan emreka
untuk menghadapi para pemberontak-pemberontak menurun. Kabinet Wilopo
kehilangan kepercayaan akibat kegagalan demobilisasinya. Inti peristiwa ini
adalah gerakan sejumlah perwira angkatan darat guna menekan Sukarno agar
membubarkan kabinet. Bahkan pada tanggal 17 Oktober 1952 muncul demonstrasi
rakyat terhadap presiden. Para demonstran itu menuntut kepada presiden agar
membubarkan parlemen serta meminta presiden memimpin langsung pemerintahan
sampai diselenggarakannya pemilu. Namun presiden menolak, dengan alasan bahwa
ia tidak mau menjadi diktator, tetapi mungkin pula khawatir apabila tuntutan
tentara dipenuhi ia akan ditunggangi oleh mereka.
Pada masa Natsir dan Sukiman, perselisihan Soekarno dengan masyumi berada disekitar pemerintahan, berbeda pula pada masa kabinet Wilopo perdebatan antara masyumi dengan Sukarno menyangkut pada masalah ideologi dan dasar Negara Indonesia. Hal ini pada awalnya ketika Sukarno berpidato di Amuntai, Kalimantan Selatan pada tanggal 27 Januari 1953. Pernyataan soekarno mendapat respon dari beberapa kalangan tidak terkecuali masyumi. Bahkan ketua masyumi Jawa Barat sangat keras menanggapi pidato Soekarno itu. Beliau mengatakan bahwa pernyataan yang dilontarkan oleh Soekarno itu menimbulkan konflik ideologi dengan umat Islam yang dianut oleh sebagian besar umat di Indonesia. Namun, Natsir dan Sukiman tidak terlalu ambil pusing dengan statement Soekarno tersebut, mereka justru berupaya untuk memperkecil persoalan tersebut. Natsir mengatakan bahwa munculnya perbedaan itu sebagian akibat dari kekacauan dalam memahmi istilah , seperti ideologi Islam atau Negara nasional.[5] Untuk menghindari perdebatan yang panjang, Natsir meminta agar masalah ini dibahas secara internal masyarakat musllim tidak perlu dimuka umum.
Walaupun,pimpinan-pimpinan masyumi sudah berusaha untuk
meredakan dan mendinginkan situasi, Sukarno tetap mengangkat pembicaraan
mengenai hubungan antara Islam dengan Pancasila. Masalah ini disampaikan
Soekarno pada saat kuliah umum di UI tanggal 7 Mei 1953.[6] Sukarno juga menyatakan bahwa Islam sejalan
dengan demokrasi , Pemerintahan yang dipimpin Wilopo dari PNI dan Prawoto dari
Masyumi tidak berlangsung lama karena adanya perbedaan pendapat antara masyumi
dengan PNI dalam memecahkan berbagai masalah, terutama cara menyelesaikan
masalah sengketa Tanjung Morawa.
Kedudukan Kabinet ini semakin terguncang karena adanya Perisiwa Tanjung Morawa yang ada di Sumatera Utara yang diduduki secara ilegal. Peristiwa Tanjung Morawa adalah peristiwa yang terjadi di Sumatera Utara pada tanggal 16 Maret 1953. Pada tahun 1953 Pemerintah RI karasidenan Sumatera Timur merencanakan untuk mencetak sawah percontohan di daerah bekas areal perkebunan tembakau di desa Perdamaian, Tanjung Morawa. Namun sayangnya, banyak penggarap liar sudah berhasil menduduki daerah tersebut.
Usaha pemerintah untuk memindahkan mereka dengan cara musyawarah pun gagal karena dihalangi oleh Barisan Tani Indonesia (BTI), organisasi massa PKI. Oleh karena itu pada tanggal 16 Maret 1953, pemerintah terpaksa menghancurkan wilayah itu dengan dijaga ketat oleh para barisan polisi. Untuk menghindari penghancuran itu BTI mengajak beberapa massa disekitar Tanjung Morawa. Mereka bersifat brutal sehingga aparat kepolisian pun mengeluarkan tembakan dan menyebabkan banyak korban luka-luka dan ada pula yang hingga tewas. Akibat peristiwa Tanjung Morawa muncullah mosi tidak percaya dari Serikat Tani Indonesia terhadap kabinet Wilopo. Sehingga Wilopo harus mengembalikan mandatnya pada presiden pada tanggal 2 Juni 1953. Setelah Wilopo menyerahkan mandat, dikalangan partai politik terutama Masyumi dan PSI mengusulkan untuk membentuk kabinet presidensil dibawah pimpinan M.Hatta, namun Soekarno menolak usul tersebut dan tetap mencari formatur untuk membentuk kabinet yang baru.