- Back to Home »
- KABINET ALI SASTROAMIDJOJO I
Posted by : Unknown
Selasa, 20 Januari 2015
A. LATAR
BELAKANG
Indonesia mengalami babak
baru dalam sejarah nasional Indonesia. pada tahun 1950 sampai tahun 1959 di
Indonesia dikenal dengan demokrasi liberal atau demokrasi parlementer. Dimana
para kabinet bertanggungjawab kepada parlemen suatu majelis (Dewan Perwakilan
Rakyat). Pada saat itu anggotanya 232. Hal ini merupakan cerminan basis atau
kekuatan-kekuatan dari partai. Partai-partai yang dimaksud yaitu Masyumi dengan
49 kursi (21%), PNI
36 kursi (16%), PSI 17 kursi (7,3%), PKI 13 kursi (5,6%), Partai Katolik 9
kursi (3,9%), Partai Kristen 5 kursi (2,2%), dan Murba 4 kursi (1,7%). Dengan
hasil tersebut, maka 42 kursi terbagi atas partai-partai atau peorangan
lainnya, dan dari seluruhnya tidak satu pun mendapat lebih dari 17 kursi.[1]
Pada percobaan
demokrasi di Indonesia, maka kabinet yang memimpin saat itu mengalami
pergantian seperti : Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1953), Kabinet
Sukiman (April 1951-Februari 1953), Kabinet Wilopo (April 1952- Juni 1953),
Kabinet Ali Satroamidjojo 1 (Juli 1953- Juli 1955), Kabinet Burhanudin (Agustus
1955- Maret 1956), Kabinet Ali Sastroamidjojo II (Maret 1956- Maret 1957), dan
Kabinet Djuanda (April 1957- Juli 1959).[2]
Pada proses Indonesia
menuju pemerintahan, maka setiap kabinet mempunyai cerita yang berbeda-beda
setiap masa jabatan. Kabinet Natsir adalah kabinet awal yang inti didalamnya
adalah koalisi antara Masyumi dan PSI. begitu pula dengan kabinet selanjutnya;
Sukiman yang memuat koalisi Masyumi-PNI, dimana koalisi antara kedua partai ini
masih dilanjutkan oleh kabinet yang kemudian menggantikan Kabinet Sukiman;
Kabinet Wilopo. Pada koalisi ini, maka orang PNI yang ambil peran sebagai
perdanamenteri. Hal ini menimbulkan ketidakharmonisan antara koalisi yang
sebelumnya saling bekerjasama.
Pergantian parlemen
yang begitu banyak di Indonesia selama 8 tahun dari tahun 1951-1959 disebabkan
adanya mosi tidak percaya dari partai oposisi. Pergantian parlemen ini
menyebabkan program-program yang dirancang oleh setiap partai tidak terlaksana
dengan baik. Selain itu pergantian partai ini juga disebabkan oleh banyaknya
partai di Indonesia.
B. Pembentukan
Kabinet Ali Sastroamidjojo I
Krisis pemerintahan
yang terjadi di Indonesia menyebabkan ketidakstabilan pemerintahan. Indonesia
mengalami jatuh bangun dalam kabinet. Pada tanggal 3 Juni 1953, Perdana Menteri
Wilopo mengembalikan mandatnya kepada Presiden sebagai akibat dari Peristiwa
Tanjung Morawa. Dengan demikian kabinet dinyatakan demisioner. Kabinet Ali
Sastroamijdojo merupakan kabinet pengganti dari Kabinet Wilopo. Kabinet Ali
mengisi krisis pemerintahan di Indonesia pasca kekosongan selama 58 hari
(sepeninggalan Kabinet Wilopo).[3]
Untuk mengisi jabatan
Perdana Menteri ditunjuk Ali Sastroamidjojo yang saat itu menjabat Duta Besar
Indonesia untuk Amerika Serikat. Ali Sastroamidjojo sempat ragu, karena selama
ini belum pernah diajak bicara oleh partainya mengenai pembentukkan kabinet.
Tetapi setelah didesak oleh Ketua Umum PNI Sidik Joyosukarto, akhirnya Ali
Sastroamidjojo mau menduduki jabatan perdana menteri. Akhirnya pada tanggal 30
Juli 1953, Presiden mengumumkan pembentukan Kabinet Ali Sastroamidjojo yang
kemudian disahkan dengan Keputusan Presiden RI No. 132 Tahun 1953 tertanggal 30
Juli 1953. Pelantikan Ali Sastroamidjojo sebagai Perdana Menteri dilangsungkan
di Istana Negara pada tanggal 12 Agustus 1953.
Dalam Kabinet Ali,
Masyumi merupakan partai terbesar kedua dalam parlemen tidak turut serta, dalam
hal ini NU (Nahdatul Ulama) kemudian mengambil alih sebagai kekuatan politik
baru. Selain itu terdapat tokoh yang bersimpati kepada PKI dimasukkan dalam
kabinet ini dan Muh Yamin yang dianggap sayap kiri dijadikan sebagai Menteri
Pendidikan. Politik kebijakan yang diterapkan tersebut terlihat lebih
mengutamakan mengenai pertahanan kekuasaan serta membagi hasil hasilnya atas
penguasaan.[4]
C. Program
Kerja Kabinet Ali
Dalam menjalankan roda
pemerintahan, berikut adalah program kerja dari Kabinet Ali Sastroamidjojo I :
1. Menjaga
Keamanan
Menjaga keamanan
merupakan bagian dari program kerja Kabinet Ali I. Hal ini karena Kabinet Ali
berani mengambil alih pemerintahan setelah kabinet sebelumnya runtuh. Adanya
tanggungjawab kabinet ini yang kemudian akan dilaporkan terhadap DPR tentunya
akan memuat suatu solusi untuk meredam ketidakstabilan Negara saat itu. Pada
masa kabinet sebelumnya telah terjadi berbagai goncangan keamanan. Misalnya
saja perpecahan yang terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur, perselisihan yang
terjadi dikalangan militer, Bahkan pembunuhan yang dilakukan kepolisian terhadap
lima petani di dekat Medan.[5] Saat itu Kabinet Ali mengerahkan pasukan untuk
meredam pemberontakan dari kota kota yang penting. Adapun keadaan ini membuat
stabilitas yang dijalankan pemerintahan terganggu, selain itu juga terdapat
berbagai pemberontakan di daerah-daerah. Sehingga kabinet Ali mempunyai tugas
untuk menjaga keamanan di Indonesia.
2. Menciptakan Kemakmuran dan
Kesejahteraan Rakyat.
Adanya Perang Korea
antara Februari 1952-Maret 1952 memberikan dampak turunnya perekonomian
Indonesia. Adanya upaya untuk memperbaiki neraca perdagangan pada kabinet
sebelum Kabinet Ali tidak berhasil. Apalagi solusi ekonomi yang dilakukan
pemerintahan sebelumnya justru berdampak memperkeruh ketidakstabilan politik
dan keamanan. Pada tahun 1952-1953 terjadi inflasi di Indonesia. Sehingga nilai
tukar rupiah turun menjadi 44,7 % dari nilai resmi menjadi 24,6 %. Hal ini
akhirnya menyebabkan eksportir diluar Pulau Jawa yang terdiri atas orang-orang
Masyumi terkena imbas dan mengalami dampak buruk pada kegiatan ekonominya
(kerugian).[6]
Dari adanya situasi ini menyebabkan penyelundupan semakin meningkat. Keadaan
ini semakin menambah kemiskinan bangsa Indonesia. Rakyat hidup dalam kelaparan
dan jauh dari kesejahteraan. Maka Kabinet Ali berupaya untuk menciptakan
kemakmuran dan kesejahteraan. Upaya yang dilakukan dengan menekan terhadap
perekonomian dan memberi dorongan kepada pengusaha pribumi.
3. Menyelenggarakan Pemilu.
Sebagai kabinet yang
memimpin pemerintahan, maka Kabinet Ali menyanggupi inti dari pemerintahan
Indonesia yang bersifat parlementer. Oleh karena itu, Kabinet Ali menyanggupi
penyelenggaraan Pemilu. Pada tanggal 31 Mei 1954 Kabinet Ali membentuk Panitia
Pemilu Pusat yang diketuai oleh Hadikusumo (PNI). Selanjutnya Pada 16 April
1955 Hadikusumo mengumumkan bahwa pemilu akan diadakan pada tanggal 29
September 1955. Hal ini yang membuat berbagai kampanye yang diadakan menjadi
meningkat. Sedangkan pemilu merupakan program kerja yang utama dalam kabinet
ini.
4. Pembebasan Irian Barat secepatnya.
Kemerdekaan Indonesia,
menuntut kabinet ini untuk tidak menyetujui adanya RIS. Hal ini karena pemerintahan
yang ada saat itu ingin berdaulat dalam menjalankan kehidupan bernegara. Oleh
karena itu, pada tanggal Agustus 1954 Kabinet Ali memuat usul mengenai
penghapusan Uni Belanda- Indonesia dan beberapa penyesuaian atas hasil KMB,
namun hal ini tidak mencapai kemajuan. Adanya masalah pembebasan Irian yang
tidak memuat hasil membuat Kabinet Ali saat itu mengajukan masalah ini ke PBB,
dan dalam bulan yang sama pengaduan tersebut tidak diterima.[7]
5. Melaksanaan politik bebas-aktif
Adanya bipolarisasi dan
politik konstelasi dunia membuat Indonesia tidak ingin terlibat didalamnya.
Apalagi Indonesia sendiri merupakan Negara yang baru merdeka, bahkan dalam
menata negaranya, Indonesia masih belum tentu arah. Apalagi kemerdekaan Indonesia
masih belum diakui oleh Belanda. Adanya ancaman kedatangan Belanda maupun
Jepang bisa kapan saja menghampiri Indonesia. Maka dari itu pada masa Kabinet
Ali ini menetapkan Indonesia untuk menjalankan Politik Bebas-Aktif. Adapun
bebas disini terwujud dengan sifat tidak memihak Indonesia terhadap pertikaian
dunia. Misalnya pada ketegangan antara Amerika dan RRC saat itu. Sedangkan
aktif disini ditujukan pada perjuangan untuk membebaskan Irian dari Belanda.
Indonesia ingin berperan aktif dalam menyuarakan anspirasinya pada dunia. Hal
ini yang kemudian akan diwujudkan dengan pelaksanaan KAA 1955 yang
mengikutsertakan Indonesia dalam menggalang perdamaian Asia-Afro. Program ini
sangat didukung Soekarno.
6. Menyelesaikan Pertikaian politik
Pada tahun 1950-1959,
keadaan politik di Indonesia sangat tidak stabil. Perpecahan terjadi dikalangan elite politik.
Tahta, jabatan, dan kekuasaan membuat Indonesia semakin terpuruk dalam
kehidupan bernegara. Salah satu perpecahan yang ada terlihat dengan keluarnya
NU dari Masyumi, dan NU nantinya membentuk partai sendiri. Adapun hal ini
dikarenakan adanya kesenjangan dalam perebutan jabatan Menteri Agama. Selain
itu ketidakharmonisan juga terlihat dalam hubungan PNI dan PSI. adanya aksi
tuding menuding semakin gencar diarahkan satu sama lain.[8]
Tidak hanya pada dunia politii, tapi juga dikalangan militer dan sebagainya
terjadi kesenjagan yang tidak layak. Dan pada bulan Januari Hamengkubuwana IX
mengundurkan diri dari Jabatan Menteri Pertahanan. Hal ini adalah wujud dari
adanya pertikaian politik. Pada masa Kabinet Ali, masalah demikian merupakan
bagian dari kegiatan kerja kabinet.
D. Masalah
yang Dihadapi Pada Kabinet Ali Sastroamidjojo
Dalam menjalankan pemerintahannya,
Kabinet Ali menghadapi beberapa masalah seperti :
1. Keamanan dibeberapa daerah tidak
stabil, diantaranya :
a. DI/TII Kartosuwirjo di Jawa Barat
Di Jawa Barat kegiatan
Darul Islam semakin memuncak, bahkan aktivitas yang dilakukan meningkat.[9] Selain
itu Darul Islam/Tentara Islam Indonesia di (DI/TII) ini disebut berasal dari
Jawa Barat dan kemudian menyebar ke daerah lain. Adapun pemimpinnya adalah Kartosuwirjo.[10]
b. Daud Beureh di Aceh
Kaum muslim di Aceh
mulai merasakan politik Jakarta hidup dalam keadaan, tidak beriman, dan tidak
cakap. Pada tahun 1949 Aceh menjadi Propinsi Republik yang otonom. Selanjutnya
pada tahun 1950 Aceh digabungkan dengan Propinsi Sumatera Utara. Daud
Beureu’eh, sebagai orang kuat Aceh dan benteng Republik Revolusi menolak untuk
menerima pekerjaan di Jakarta dan lebih memilih untuk bermukim di Aceh dan
memperhatikan perkembangan-perkembangannya. Adapun hal ini karena adanya isi
kabinet terdiri atas tokoh-tokoh Masyumi. Pada masa Kabinet Ali. Bahkan Darul
Islam berhasil memperluas wilayahnya dengan meliputi Aceh, Jawa Barat , dan
Sulawesi. Pada Mei 1953, terdapat bukti bahwa ia menjalin hubungan dengan
Kartosuwirjo dari Darul Islam. Daud merasa keberadaan Kabinet Ali bermaksud
menangkapi orang-orang Aceh yang terkemuka. Sampai tahun 1959 Daud mundur
keatas bukit. Kemudian pada tanggal 19 September 1953 Daud dan PUSA
terangan-terangan melakukan pemberontakan terhadap Jakarta. Ini mendapat
dukungan orang-orang Aceh yang menjadi pegawai dan tentara. Saat itu Daud
menyatakan bahwa Aceh merupakan bagian dari Darul Islam bukan Pemerintah
Pancasila. Ketika Kabinet Ali gerakan ini dianggap sebagai hambatan yang
berpengaruh terhadap ketidakstabilan Negara. Apalagi Hal ini merupakan
tantangan bagi pemerintahan Kabinet Ali dan menjadi penguras utama dana.[11]
c. DI/TII Kahar Muzakar di Sulawesi
Selatan
Pada Januari 1952 Kahar
Muzakar menyatakan Sulawesi Selatan merupakan wilayah dari kepemimpinan
Kartosuwirjo. Namun pada akhirnya Kahar Muzakar ini berhasil ditembak oleh
Tentara dari Divisi Siliwangi.
d. DI/TII di Jawa Tengah
Pemberontakan ini
dipimpin oleh Amir Fatah dan Mahfud Abdur Rahman. Pada tahun 1954 pemberontakan
ini berhasil ditundukan oleh TNI.
e. Persoalan dalam negeri dan luar
negeri misalnya persiapan pemilihan umum yang saat itu direncanakan pada
pertengahan Mei 1955 mengalami kegagalan.
f. Konflik dengan TNI-AD dalam persoalan
pengangkatan seorang kepala staf.
Ketegangan yang terjadi
dilingkungan TNI-AD sejak peristiwa 17 Oktober 1952 (Pada waktu itu Nasution
mendapat skors atau dinonaktifkan selama tiga tahun) kemudian berlanjut.
(Ricklefs: 1998, 369). Adapun peristiwa disebabkan Kepala Staf TNI-AD “Bambang
Sugeng” mengajukan permohonan. Dalam hal ini keinginan tersebut disetujui oleh
kabinet. Tindak lanjut dari hal tersebut ialah pengangkatan Kolonel Bambang
Utoyo oleh Mentri Pertahanan. menurut Panglima TNI-AD hal tersebut sangat tidak
menghormati norma-norma yang ada di dalam lingkungan TNI-AD. Kabinet yang ada
saat itu dipersalahkan, bahkan dalam Upacara Pelantikan dan Serah Terima
Panglima tinggi TNI-AD tidak ada yang hadir.
Selain dari masalah
diatas, hambatan pada kabinet ini juga meliputi masalah ekonomi. Pada program
kerjanya Kabinet Ali menekankan pengindonesiasian terhadap perekonomian dan
memberi dorongan kepada pengusaha pribumi. Namun pada kenyataannya tidak
demikian, karena banyak perusahaan-perusahaan baru yang berkedok palsu bagi
persetujuan antara pendukung pemerintah dan orang-orang Cina/Perusahaan Ali
Baba. Maka dari itu Kabinet ini dikenal juga dengan Kabinet Ali Baba. Ali Baba
artinya seorang pengusaha pribumi yang mewakili pengusaha Cina yang memiliki
perusahaan. Dalam praktiknya duta besar Cina akan menekan orang-orang Cina
untuk bekerja sama dengan pribumi, tapi keadaannya tidak demikian. Sedangkan
pada saat itu Indonesia sedang mengalami krisis ekonomi, pergolakan ditanah air
yang menguras dana semakin membuat kemiskinan. Apalagi pada 1955 PSI melakukan
pemogokan dan untuknya diredam oleh SOBSI.[12]
E. Prestasi
Yang Dicapai oleh Kabinet Ali Sastroamidjojo I
Kabinet Ali
Sastroamidjojo ini tidak mampu mencapai semua program kerjanya. Walaupun
digolongkan sebagai kabinet yang bertahan lama, tapi tidak semua hasil
diperoleh secara maksimal. Akan tetapi, kabinet ini telah berhasil memberi
sumbangan bagi Indonesia, maupun benua Asia-Afrika. Adanya peristiwa diplomari
pada 18 April-24 April 1955 itu disaksikan oleh Gedung Merdeka, Bandung. Saat
itu Indonesia dengan tujuan mempromosikan kerjasama ekonomi dan kebudayaan
Asia-Afrika. Merangkul saudara Asia-Afrika untuk melawan kolonialisme atau
neokolonialisme Amerika Serikat, Uni Soviet, atau negara imperialis lainnya.
Pada April-Mei-1954 terdapat pertemuan antara Perdana Menteri India, Pakistan,
Sri Lanka, Birma, dan Indonesia (diselenggarakan di Colombo). Sebenarnya situai
politik yang tidak stabil di Indonesia dialihkan Ali pada suatu peristiwa yang
bisa dikatakan mampu mengangkat nama Indonesia. Disana Ali mengusulkan KAA, hal
ini didukung Negara lain. Adapun KAA telah menunjukan kemenangan bagi
pemerintahan Ali, ketika itu terdapat 29 negara yang hadir (Negara-negara besar
Afrika, Asia hanya kedua Korea, Israel, Afrika Selatan, dan Mongolia luar yang
tidak diundang).
Adapun Pemimpin Asia
yang hadir, yaitu : Zhou Enlai (Cou En-Lai), Nehru, Sihanouk, Pham Va Dong, Unu, Mohammad Ali, Nasser,
dan Sukarno.[13]
Dengan adanya KAA
membuat terjalinnya hubungan antara Amerika dan RRC. Pada saat itu RRC
melupakan permusuhan dengan Negara-negara Asia yang nonkomunis, netral. Pada
tahun 1953 Republik Indonesia mengirim 2 duta besarnya ke Cina. Dimana pada Desember
Ali menandatangani persetujuan perdagangan antara Cina dan Indonesia yang
pertama. Pada tahun 1955 terdapat persetujuan ganda yang mengharuskan
orang-orang Cina Indonesia untuk memilih kewarganegaran Cina atau Indonesia.
(hal ini dianggap orang-orang Cina menyulitkan karena sebelumnya tidak pernah
dipermasalahkan).
Ali Sastroamidjojo
sangat puas karena dipandang sebagai pemimpin Asia-Afrika. Pelaksanaan
konferensi ini merupakan wujud perjuangan RI untuk mempromosikan hak Indonesia
dalam pertentangan dengan Belanda mengenai Irian Barat. Adapun hasil dari
konfrensi ini mendukung tuntutan Indonesia atas Irian Jaya. Dari sini
kemungkinan bagi Indonesia untuk memainkan peranan penting dunia, hal ini
dijadikan Soekarno sebagai tanggung jawabnya pribadi. Ketika itu Ali mengatakan
dan meluluskan Dasasila atau Sepuluh Prinsip Bandung, sebagai upaya untuk
mengubah dominasi dua negara adikuasa terhadap hubungan internasional pasca
Perang Dunia II. Serta menilai kembali arti penting Konferensi Bandung serta membahas
perubahan baru dalam hubungan internasional dan tantangan baru yang dihadapi
dunia mempunyai arti penting.
F. Fenomena
PKI Pada Masa Kabinet Ali
Setelah Konfrensi Asia
Afrika Berakhir, maka persiapan pemilu, kekuatan baru sudah terbentuk. Untuk
menarik anggota, PKI serius melakukan usaha BTI (Barisan Tani Indonesia). PKI
diminati oleh rakyat karena PKI tidak tampak menganut kekerasan dan bersifat
lunak. Selain itu PKI mengatakan bahwa mereka adalah partai buruh atau partai
dari petani dan rakyat miskin, dengan bergabung dengan PKI maka kesejahteraan
akan merata. Sehingga penduduk dosa berduyun-duyun untuk menjadi anggotanya.
Hal ini yang membuat PKI memiliki basis masa yang dapat menekan kekuatan
politik lain dan mampu tampil mengesankan pada pemilu. PKI berhasil mengunguli
semua partai politik lainnya.[14]
Hal ini dibuktikan
dengan : Maret-November1954 jumlah anggota partai ini naik menjadi tiga kali
lipat (165.206-500.000). pada Akhir 1955 mencapai 1 juta. September 1953
menyatakan mempunyai 360.000 anggota dan kemudian mencapai Sembilan kali lipa
(3,3 juta) pada akhir tahun 1955. 90% anggota di Jawa, 70% dari Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Anggota pemuda rakyat meningkat 3 kali lipat menjadi 202.605, Juli
1954 616.605 akhir tahun 1955; 80% anggotanya adalah pemuda tani yang sebagian
dari Jawa.
Selain itu PKI juga
mempunyai surat kabar yang Oplah Surat Kabar PKI, Harian Rakyat dari 1954
beerjumlah (15.000 eksemplar) menjadi 1956 (55.000 eksemplar); surat kabar
terbesar dalam afiliasi partai. Sehingga PKI menjadi partai politik terkaya
dengan penerimaan iuran dari anggota (pungutan iuran sering kurang teratur),
dari gerakan-gerakan pemungutan dana, sumber lain. Adapun sebagian besar uang
berasal dari komunitas dagang Cina (yang memberikan dengan senang hati, atau
melalui tekanan dari Kedutaan Besar Cina). Akan tetapi PKI kemudian tenggelam,
hal ini karena banyak yang bergabung namun tiba-tiba pergi tanpa alasan. Lawan
dari adalah TNI, hal ini sangat terlihat kontras, bahkan dari persaingan
politik ini kemudian hari akan menghasilkan peristiwa tertentu.
Pada tanggal 17 Oktober
1954 PKI dan tentara rujuk kembali. Kemudian pada Nopember 1955 diselenggarakan
Konfrensi diyogyakarta dan dihadiri 270 perwira yang kemudian menyetujui piagam
persatuan dan kesepakatan. Pada tanggal 27 Juni perwira menolak mengakui orang
yang diangkat kabinet. Dari uraian tersebut sangat terlihat bahwa PKI mendapat
tempat pada masa Kabinet Ali, hal ini bisa dilihat dari eksistensi PKI pada
ajang pemilu.
G. Kemunduran
Kabinet Ali Sastroamijdojo I
Sama halnya dengan
kabinet-kabinet sebelumnya, kabinet ini akhirnya mengundurkan diri. Alasannya
karena banyak sekali masalah yang tidak bisa diatasi, misalnya pergolakan yang
terjadi di daerah (DI/TII), Tingkat korupsi yang memuncak, membuat perekonomian
menurun dan kepercayaan masyarakat merosot. Masalah Irian yang tidak selesai,
Pemilu yang tidak terlaksana, bahkan skandal korupsi sendiri ada di tubuh PNI.
NU tidak puas dengan
kerja kabinet (personel, ekonomi, keamanan,) dan didalamnya terdapat konflik
antara NU dan PNI. Sehingga pada tanggal 20 Juli NU mengutus menteri-menterinya
untuk mundur dari pemerintah. Hal ini diikuti oleh partai lain. Adanya
kelemahan Kabinet Ali mendorong Masyumi untuk mengajukan mosi pada bulan
Desember mengenai kemunduran (ketidak percayaan kepada kebijakan pemerintah).
Sebagai imbalan atas perlindungan PNI, PKI meredam kecaman-kecaman terhadap
korupsi dan masalah ekonomi. Adanya kesenjangan politik yang demikian
menimbulkan keretakan didalam kabinet .
Ali mengembalikan mandatnya
pada tanggal 18 Juni. Soekarno memutuskan untuk naik haji dan kemudian
mengunjungi Mesir. karena dukungan dari DPR tidak mencukupi empat hari kemudian
akhirnya Ali mengundurkan diri. Kabinet ini mengembalikan mandatnya pada
tanggal 24 Juli 1955. [15]
Kesimpulan
Kabinet Ali
Sastroamidjojo merupakan kabinet baru pengganti Kabinet Wilopo. Kabinet ini
berdiri pada tanggal 31 Juli 1953 sampai 12 Agustus 1955. Kabinet ini merupakan
kabinet yang cukup bertahan lama pada demokrasi parlementer pada tahun 1950-1959.
Program kerja dari Kabinet Ali
diantaranya :
a. Program
dalam negeri diantaranya keamanan, pemilihan umum, kemakmuran dan keuangan,
organisasi pemerintahan, perburuhan, serta perundang-undangan.
b. Pengembalian
Irian Barat.
c. Pelaksanaan
politik luar negeri bebas dan aktif.
Prestasi yang dicapai
pada Kabinet Ali yaitu berhasil melaksanakan Konferensi Asia Afrika di Bandung
dan persiapan pemilihan umum pertama yang direncanakan pada tahun 1955. Tetapi belum sempat melaksanakan rencananya,
Kabinet Ali mendapatkan tuntutan dari PUSA yang dipimpin oleh Daud Beureueh.
Selain itu kemelut dalam tubuh Angkatan Darat yang berujung pada pergantian
pimpinan menjadi hal yang sangat memberatkan Kabinet Ali-Wongso. Akhirnya kabinet
ini mengembalikan mandat kepada Presiden Soekarno dan diterima oleh Wakil Presiden karena pada saat itu
Presiden sedang melakukan ibadah haji.